tempo.co: Bayangkan Anda tiba di sebuah kampung di puncak bukit, disambut patung batu berkepala kuda dan seorang tetua yang mengalungkan kain tenun sebagai lambang penerimaan. Di Prai Ijing, kampung adat di Sumba, setiap tamu bukan hanya menjadi pelancong, tapi juga bagian dari ritus, tradisi, dan kehormatan. Di sinilah adat, alam, dan kepercayaan kuno bernama Marapu menyatu dalam kehidupan sehari-hari yang nyaris tak tersentuh modernitas.
Di Prai Ijing, larangan atau pamali menjadi hukum sosial dan spiritual. Tak boleh menyimpan benda tajam sembarangan, tak boleh duduk ongkang-ongkang saat makan, dan jangan sekali-kali membunuh ular yang masuk rumah. Semua dipercaya berkaitan dengan leluhur yang masih hidup dalam dimensi lain. Pelanggaran adat dianggap bisa mendatangkan celaka, yang tak bisa disembuhkan oleh logika medis, hanya oleh ritual dan doa.
Bagaimana kekuatan tradisi ini tetap bertahan di tengah geliat pariwisata dan arus digital? Ketika anak-anak muda kampung mulai belajar mempromosikan keindahan dan adat mereka lewat media sosial, Prai Ijing sedang menapaki dua dunia: menjaga akar, sambil membuka jendela ke luar. Bagaimana keduanya berdampingan tanpa saling menegasikan?
#TempoHarian #TempoPlus
Sat Jul 19 2025 08:07:37 GMT+0800 (China Standard Time)